Makalah
DELIK PENODAAN
AGAMA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA
DALAM RUU KUHP
Rumadi
Dosen
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
I. Acuan Pemikiran
Secara normatif, jaminan kebebasan
kehidupan beragama di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan
aturan-aturan normatif tidak serta merta indah pula dalam kenyataannya. Banyak
sekali warga Negara Indonesia yang merasa dikekang kebebasannya dalam memeluk
agama dan berkeyakinan. Kebebasan itu hanya ada dalam agama yang “diakui”
pemerintah, artinya kalau memeluk agama di luar agama yang “diakui” itu maka
ada efek yang dapat mengurangi hak-hak sipil warga negara. Bahkan, orang yang
mempunyai keyakinan tertentu, bias dituduh melakukan penodaan agama. Keyakinan
keagamaan kelompok Lia “Eden” Aminuddin misalnya, bisa dituduh melakukan
penodaan agama dan divonis 2 tahun karena melanggar KUHP pasal 156a. Hal ini
merupakan contoh telanjang betapa diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan,
meski diingkari oleh perundang-undangan kita, namun dalam realitasnya berbeda.
Jaminan kebebasan beragama
pertama-tama dapat dilihat dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar negara
kita. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1)
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2)
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam pasal 29 (1) "Negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.", (2) "Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu."
Dalam UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa
agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam
pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 8 juga ditegaskan
bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
menjadi tanggung jawab negara, terutama
pemerintah”.
Dari pasal tersebut jelas bahwa
negara (c.q. pemerintah) adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk
menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala sesuatu yang menjadi turunannya,
seperti pengakuan hak-hak sipilnya tanpa diskriminasi. Dalam pasal 1c UU No. 39
Tahun 1999 dijelaskan bahwa “diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan,
atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan,
penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan
lainnya”.
Di samping itu, tuntutan untuk
menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan international
sebagaimana tertuang dalam International
Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia
menjadi Negara Pihak (State Parties) yang
terikat dengan isi ICCPR.
Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18);
hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas
kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); persamaan kedudukan semua orang
di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama,
atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).
ICCPR
pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh
aparat represif negara, khususnya aparatur represif Negara. Makanya hak-hak
yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang
dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Apabila negara terlalu intervensi,
hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara.
Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut, akan
mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak
asasi manusia (gross
violation of human rights).
Meski
secara konstitusi jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan cukup kuat,
namun pada tingkat implementasi masih sangat lemah. Bahkan ada kesan, paradigma
dan perspektif pemerintah dalam melihat agama dan segala keragamannya tidak
berubah. Keragaman masih dianggap sebagai ancaman daripada kekayaan. Watak
negara yang ingin sepenuhnya menguasai segi-segi kehidupan dalam masyarakat,
terutama keyakinan, sebagai ciri negara otoriter juga belum sepenuhnya hilang.
download MAKALAH SYARI'AH FAKULTAS SYARI'AH versi doc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar